Agama ya agama, Bisnis ya
Bisnis…
Demikian kalimat yang sering
saya dengar dari para pengusaha, baik saat saya masih menjadi karyawan ataupun
setelah saya menjadi Motivator yang seringkali berjumpa dengan berbagai
kalangan pengusaha, termasuk konglomerat.
Agama dan bisnis seperti air dan
minyak yang tidak bisa disatukan. Benarkah demikian?
Mindset yang menyetujui bahwa
kalau kejujuran hanyalah untuk agama, tapi dalam bisnis tidak bisa diterapkan.
Bahkan, masih sangat banyak pengusaha yang meyakini bisnisnya bisa bangkrut
bila dijalankan dengan jujur “banget”. Disisi lain, si pengusaha hidupnya ingin
sangat beragama, ironis bukan he he…
Pertanyaannya sekarang adalah
apakah agama dan bisnis bisa disatukan? Bisakah nilai-nilai yang indah dalam
agama dijalankan dalam bisnis? Kalau bisa, bagaimana melakukannya? Bagaimana
menyatukannya? Mari saya mulai dengan sebuah kisah nyata yang saya alami
sendiri…
Sebuah Contoh Kecil Kepedulian
Sosial
Saya memiliki seorang Engkong
yang luar biasa. Walau dia seorang asli suku Hokian kelahiran Tiongkok, yang
tidak bisa berbahasa Indonesia sama sekali, namun memiliki jiwa nasionalisme
yang mengagumkan.
Dia seorang pedagang beras di
pasar Cinde, 16 Ilir, Palembang. Disela waktunya, saya menyaksikan dia beberapa
kali (saat itu sekitar tahun 1970an, saya masih seorang anak-anak) membuat dan
membangunkan sebuah warung untuk temannya, salah satunya adalah seorang tukang
Pos, yang hanya memiliki sebuah rumah sederhana dan motor Honda berwarna
oranye.
Engkong saya sendiri yang
menggergaji dan memotong kayu, memaku dan pekerjaan lainnya seperti layaknya
seorang tukang kayu, sampai terbentuk sebuah warung kelontong yang tentunya
kecil dan sederhana saja, seperti warung rokok di pinggir jalan, hanya ini
berada di depan rumah.
Saya tidak pernah memahami apa
maksud Engkong saya melakukan hal ini. Namun setelah berpuluh tahun kemudian,
saya baru memahami apa yang disebut dengan istilah Social Entrepreneur, yang
ternyata Mindset-nya sudah melekat dalam jiwa saya sejak kecil. Saya yakin
semua itu berawal saat menyaksikan Engkong membangunkan sebuah warung kecil
untuk temannya. Dia sudah berjiwa sosial pada jamannya.
Bisnis-bisnis saya selanjutnya,
sangatlah kental berwarna sosial. Di benak saya, saat mau membangun sebuah ide
bisnis, selalu muncul dahulu sebuah pertanyaan:
Bagaimana bisnis ini bisa
berguna untuk orang banyak?
Mudahkah memiliki Mindset
sebagai seorang Social Entrepreneur? Apakah harus dengan mindset seperti ini,
barulah bisnis kita bisa sukses? Tentu saja tidak. Namun, sejarah menunjukkan
bahwa bisnis-bisnis besar di dunia, karena pendirinya berjiwa sosial terhadap
orang banyak, lingkungan, dunia dan kehidupan ini. Orang-orang yang sungguh
berjiwa besar. Dan, ternyata mudah sekali untuk menerapkan…
Nilai Agama dalam Bisnis
Saya sangat yakin Engkong saya
memahami hal ini, walau menurut umum, dia tidak punya agama. Karena biasanya,
orang Tiongkok dianggapnya tidak beragama, padahal setelah Engkong saya wafat,
saya menelusuri jalan hidupnya, dia seorang yang “cukup” religius di jamannya.
Karena ternyata dia punya seorang Guru Agama di Kelenteng 10 Ulu, Palembang.
Tidak banyak orang yang punya teman dialog, seorang Guru Agama, bukan?
Baiklah, nilai agama apa yang
bisa diterapkan dalam bisnis? Contoh mudah adalah sikap kejujuran. Berikan apa
yang menjadi hak Kaisar. Bayar pajak dengan benar karena ini adalah hak
pemerintah dan sebagainya. Hal-hal kecil ini sudah merupakan contoh bagaimana
menerapkan nilai agama dalam bisnis, bukan? Dan, sebenarnya juga…
Berbisnis adalah beragama
Karena saat kita berbisnis, kita
melakukan inter aksi yang saling mendukung dan membutuhkan satu sama lain. Katakan
sebuah ide bisnis menjual nasi bungkus murah dan sehat, untuk membantu para
pengendara sepeda motor yang pergi pagi subuh menuju ke kantor. Karena istri di
rumah tidak sempat masak, maka si suami makan pagi jam 7an di dekat kantornya.
Bukankah dengan menjual nasi
bungkus murah dan sehat, Anda sedang beramal? Dan, amal adalah merupakan
terapan dari agama. Pembeli nasi bungkus jadi kenyang, sehat dan murah,
sehingga uang yang dihemat bisa dibelikan boneka lucu untuk putri tercinta di
rumah. Dan, Anda juga dapat untung, karena volume penjualan yang banyak. Dengan
Anda makin besar untungnya, amal Andapun meningkat, karena makin banyak orang
yang terbantukan karena sebuah ide nasi bungkus murah dan sehat…
Berbisnis adalah peluang
membangun manusia
Menurut saya berbisnis, apapun
bentuknya, sebenarnya kita membangun manusia. Bisnis hanyalah sarana saja. Alat
untuk mencapai sebuah tujuan yang tentunya tujuan mulia, yang bisa berguna
untuk orang banyak, syukur-syukur berguna untuk kehidupan ini.
Saat kita mempunyai team kerja
(karyawan), rekan kerja, partner usaha, sekelompok manusia yang terus maju,
terus bertumbuh, maka otomatis bisnis kitapun ikut bertumbuh. Jadi, jika
demikian. Bisnis kita bertumbuh karena manusianya, bukan ide bisnisnya. Nah,
jika demikian, mengapa kita tidak berpikir untuk memindahkan fokus kita? Bukan
lagi pada ide bisnisnya, tapi pada peluang untuk membangun manusianya. Karena,
berawal dari situlah bisnis kita akan terus membesar dan membesar…
Kaya Raya hanyalah akibat saja.
Saya sangat yakin saat sumber
daya manusia kita meningkat dan terus menjadi lebih baik, bisnis-bisnispun akan
meningkat lebih baik. Bahwa akhirnya si pebisnis yang berfokuskan pada
membangun manusia tersebut, menjadi kaya raya, itu hanyalah akibat saja. Hanya
sebuah kosekuensi dari sebuah bibit baik yang ditanam di masa lalu. Hiduppun
menjadi lebih tenang dan damai, karena harta kaya raya yang dipercayakan
olehNya untuk dikelola, sudah dijalankan dengan benar sesuai ajaranNya…
Bisnis yang membangun manusia
artinya membangun masa depan Indonesia yang lebih cerah. Dan, membuat Indonesia
lebih baik.
Sebagai orang Tiongkok, Engkong
saya meninggalkan wasiat motivasi:
“Jangan tinggal di negeri ini,
jika kita tidak mau berkorban
untuk negeri ini”
Teruslah membangun manusia Indonesia,
teruslah membangun bisnis, teruslah berkarya yang terbaik, agar kehidupan
menjadi lebih baik…
Penulis : KRISHNAMURTI
Sumber : topmotivasi.com