Menurut
Peter F. Drucker, kepemimpinan tak terlepas dari kaitan budaya (kultur) yang
disandang oleh masyarakat yang dilayaninya. Kultur itu bahkan tampil sebagai
bagian terpadu dalam keseluruhan kepemimpinan itu, menjadi semacam bingkai yang
lazim disebut gaya (style), hingga terdapat terminologi kepemimpinan Gaya
Jepang atau kepemimpinan Gaya Cina atau kepemimpinan Gaya Barat dan seterusnya.
Kepemimpinan
bertugas mengemban misi bagi lembaga yang dilayaninya, beroperasi berlandaskan
budaya dan kepemimpinan bertugas mengembangkan tiap kegiatan kerja menjadi
produktif dan membuat agar tiap kerja berprestasi, melakukannya berlandaskan
nafas, semangat dan jiwa budaya. Dalam mengelola dampak sosial dan tanggung
jawab sosial, eksistensi dan kegiatan lembaga yang dilayaninya, pemimpin
melakukannya dalam penghayatan terhadap budaya.
Di Asia
Timur dan Tenggara barangkali kita dapat tanpa ragu-ragu bicara tentang budaya
Jepang, budaya Korea, budaya Cina dan budaya Indonesia di samping budaya-budaya
yang lain yang lebih lokal dan regional sifatnya. Tentang budaya Indonesia,
yang menurut Ki Hajar Dewantara adalah puncak dari semua kebudayaan daerah,
yang kemudian saling berinteraksi dan beradaptasi berangsur larut menjadi satu
kepribadian. Gaya kepemimpinan yang diajarkan Ki Hajar Dewantoro, “Ing Ngarso
Sung Tulodho, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani”, yaitu di depan harus
menjadi teladan, di tengah harus mendukung dan di belakang harus mengikuti,
merupakan salah satu gaya kepemimpinan dengan landasan budaya Indonesia.
Budaya yang
mendasari sistem yang ada pada akhirnya juga turut memegang pengaruh yang
sangat besar. Hal ini terlihat pada budaya yang berkembang di negara Indonesia
sendiri. Jika pada masa lalu budaya gotong royong -yang terlihat sangat jelas
pada masa perjuangan- masih sangat kuat melekat dalam diri orang-orang
Indonesia, hal itu nampaknya kini harus dipertanyakan lagi. Gejolak
ekonomi yang sangat kuat terhadap nilai mata uang Indonesia sepertinya
mendorong orang-orang dari satu golongan tertentu untuk menyelamatkan diri
sendiri tanpa memperhitungkan pihak lain. Hal ini menimbulkan suatu tanda tanya
adakah nilai-nilai individual yang pada dasarnya bukan nilai-nilai bangsa telah
merasuki bangsa Indonesia yang terkenal akan semangat gotong-royongnya.
Budaya yang
pada dasarnya merupakan nilai-nilai, kebiasaan, ritual, mitos maupun
praktek-praktek yang terus berlanjut dalam kehidupan bermasyarakat merupakan
nafas yang menjiwai dan mengarahkan perilaku para anggota (Robbins, 1996 ),
bahkan semestinya mendasari setiap gerak kehidupan bermasyarakat. Dalam
hal ini budaya tidak hanya sekedar sebagai dasar, namun yang terpenting adalah
budaya tersebut memiliki peran sebagai pemberi identitas dan ‘normative glue’.
Pemimpin dalam konteks ini memiliki andil yang sangat besar terhadap bagaimana budaya
tersebut dapat dihayati dengan sungguh-sungguh oleh para anggotanya.
Dari
bandingan-bandingan yang diberikan di atas, tampak betapa tinggi sifat-sifat
atau syarat-syarat yang dituntut bagi seorang pemimpin. Di dalam kenyataan
memang tidak mudah bagi seorang pemimpin untuk memenuhi sifat-sifat tersebut
secara sempurna. Bahkan dikatakan pemimpin juga harus memiliki sifat samudera
dan bumi. Yakni pemimpin harus mampu menampung segala permasalahan, tetap sabar
dan tenang dalam memberikan solusi. Dia juga harus teguh dan kuat pendirian
tetapi siap pula mendengar masukan dari mana pun untuk dijadikan bahan
pertimbangan.
Sejarah juga sudah membuktikan bahwa hantaman badai waktu dan zaman, tidak mampu mengubah sendi-sendi dasar budaya yang ada. Dimana bangsa Indonesia berbudaya kepercayaan pada Yang Maha Tinggi, Sang Maha Pencipta serta kebersamaan dalam konteks kegotongroyongan. Maka secara sosiologis, pola dasar budaya kepemimpinan Indonesia adalah kepemimpinan paguyuban.
Sejarah juga sudah membuktikan bahwa hantaman badai waktu dan zaman, tidak mampu mengubah sendi-sendi dasar budaya yang ada. Dimana bangsa Indonesia berbudaya kepercayaan pada Yang Maha Tinggi, Sang Maha Pencipta serta kebersamaan dalam konteks kegotongroyongan. Maka secara sosiologis, pola dasar budaya kepemimpinan Indonesia adalah kepemimpinan paguyuban.
Di sisi lain
dalam sebuah perusahaan, budaya adalah sesuatu yang dibangun bersama-sama
mulai dari pimpinan puncak hingga karyawan bawah. Dan ini berbeda dari satu
perusahaan ke perusahaan lain. Ketika anda bekerja di sebuah perusahaan, anda
perlu mengenali budaya yang berlaku di sana, yang mungkin berbeda dengan budaya
yang diterapkan di tempat kerja terdahulu. Namun demikian, sebagai seorang
pemimpin yang positif, salah satu tugas anda adalah menumbuhkan sebuah budaya;
yaitu budaya yang positif, yang sesuai dengan pasar anda dan didukung oleh
personel anda. Dan ini harus dimulai dari anda sendiri sebagai pimpinan puncak
yang harus memberikan keteladanan. Dalam menumbuhkan budaya yang positif,
seorang pemimpin sangat dipengaruhi dengan sikap-sikap positif dari budaya
kepemimpinan Indonesia.
Dalam
melihat kepemimpinan suatu organisasi itu sama dengan melihat budaya yang ada
dalam organisasi tersebut, perumpamaannya bagaikan dua sisi mata uang yang
memiliki nilai yang sama. Dalam hal ini ada dua konsep berbalik, yaitu :
a. Budaya diciptakan oleh pemimpin-pemimpinnya.
b. Pemimpin-pemimpin diciptakan oleh budaya.
a. Budaya diciptakan oleh pemimpin-pemimpinnya.
b. Pemimpin-pemimpin diciptakan oleh budaya.
Keberhasilan
seorang pemimpin justru akan dilihat dalam pengaruh mereka secara langsung
terhadap budaya organisasi. Menurut Turner (Taliziduhu Ndraha : 2005),
pada dasarnya pemimpin berperan dalam pembentukan budaya, budaya membantu
membentuk anggota-anggotanya . Pembentukan budaya hanya akan dapat dilihat
lebih dekat melalui perilaku-perilaku para anggota serta semangat yang
mendorongnya. Pada akhirnya disadari bahwa pemimpin hendaknya memiliki suatu
komitmen yang jelas, baik komitmen pada diri pribadi maupun komitmen terhadap
organisasi. Jika nilai-nilai yang dimiliki adalah nilai-nilai kebersamaan dan
kesejahteraan bersama, maka hal itu akan sungguh-sunguh terlihat pada spirit
yang ada pada anggotanya. Ketika peran ini diabaikan, tidak akan heran jika
keberadaan organisasi akan hancur karena justru orang cenderung meninggalkan
budaya kebangsaan yang dimiliki serta justru memakai budaya negara lain yang
menurutnya dianggap lebih baik. Dalam situasi yang demikian, refleksi dan
introspeksi perlu dilakukan semua pihak dan keberanian mengakui kekurangan
adalah tindakan bijaksana sehingga dapat dipastikan anggota akan kembali timbul
kepercayaan. Justru ketika pemimpin mau menyadari kelemahannya, maka pada saat
itu dukungan dari anggota akan muncul karena pada dasarnya masyarakat Indonesia
adalah masyarakat pemaaf yang mudah melupakan suatu kesalahan.
Dari
penjelasan di atas nampak jelas bahwa antara kepemimpinan dengan budaya
perusahaan maupun budaya dalam suatu masyarakat mempunyai hubungan yang sangat
erat sekali. Sehingga dapat dikatakan bahwa melihat kepemimpinan suatu
perusahaan itu sama dengan melihat budaya yang ada dalam perusahaan
tersebut.
Sumber : vibizmanagement.com