Pelajaran
bersyukur adalah pelajaran pertama yang saya anggap
penting dalam setumpuk mata pelajaran di sekolah kehidupan Indonesia. Dalam
“mata pelajaran” yang satu ini, guru saya yang pertama dan terutama adalah almarhumah
ibu saya sendiri. Ia mengajarkan kepada saya agar mendisiplin diri untuk
belajar bersyukur dalam segala situasi, baik di kala suka maupun di kala duka.
Bersyukur
di kala suka, yakni saat hidup berjalan sebagaimana
saya harapkan, tidaklah sulit. Saya dengan mudah mengucapkan syukur atas segala
macam hadiah yang saya peroleh, prestasi yang saya raih, penghargaan yang saya
terima, dan berbagai rejeki serta kemudahan dalam kehidupan sehari-hari. Dan
setiap kali saya mengingat-ingat kemurahan Tuhan, saya dengan mudah dapat mengucapkan syukur dalam hidup saya.
Namun,
bersyukur di kala duka acap kali tidak mudah saya lakukan. Bagaimana saya harus
bersyukur ketika hidup berjalan tidak seperti yang saya inginkan? Ketika saya
kecewa karena tidak mendapatkan apa yang saya harapkan, atau ketika beban
kehidupan terasa berat karena harus menunaikan sejumlah kewajiban dalam keluarga atau dalam pekerjaan, maka mengucap syukur
menjadi soal yang tidak mudah. Apalagi ketika saya berulang kali harus menerima
kenyataan sejumlah usaha yang saya rintis untuk meningkatkan tarap
hidup, justru berakhir dengan kegagalan dan
kebangkrutan. Bukan hanya tidak memberikan hasil seperti yang saya harapkan, saya terkadang
harus menanggung beban hutang yang harus dicicil selama beberapa tahun.
Hal-hal semacam itu membuat saya kecewa, frustasi, sedih, dan hampir putus asa. Biasanya pada saat-saat semacam itu, gelombang kekhawatiran mengenai masa
depan muncul silih berganti. Masa depan nampak sebagai sesuatu yang
menyeramkan, dan semangat hidup turun pada tingkat terendah.
Saya
kemudian menyimpulkan bahwa bersyukur di kala suka itu mudah, tetapi bersyukur
di kala duka memerlukan latihan dan
disiplin. Bersyukur atas berkat yang Tuhan limpahkan itu gampang, tetapi
bersyukur atas penderitaan yang Tuhan ijinkan menimpa hidup saya, jelas tidak
mudah. Dan karena yang terakhir ini tidak mudah, saya perlu mempelajarinya
dengan lebih seksama.
”Sekurang-kurangnya ada dua
pilihan yang bisa kamu ambil ketika hidupmu sedang dilanda kesusahan. Pertama,
kamu bisa mengeluh atau bahkan mengutuk hidup sendiri; Kedua, kamu bisa tetap
bersyukur karena kamu yakin bahwa tidak ada kesusahan yang di ijinkanTuhan
melampaui kekuatan yang telah diberikannya kepada kamu. Bahkan
acapkali kesusahan yang di ijinkan Tuhan itu sesungguhnya merupakan sebuah
proses persiapan untuk kamu menikmati suka cita yang lebih besar dari yang
pernah kamu alami sebelumnya,” kata Ibu saya. Dan dalam praktik hidup yang
nyata, Ibu saya selalu memilih yang kedua. Sepanjang hidupnya saya tidak pernah
mendengar Ibu saya berkeluh kesah. Ia selalu bersyukur. Selalu. Ini membuat
saya kagum dan menghormati ajarannya.
Bagi
Ibu saya, bersyukur adalah soal pilihan pikiran dan hati. Kita bebas menentukan pilihan, namun kita terikat pada dampak
yang ditimbulkan oleh setiap pilihan. Entah sadar atau tidak, bagi Ibu saya
jelas bahwa mengeluh dan mengutuki kegagalan dan kesusahan hidup tidak pernah
membuat hidup menjadi lebih baik. Keluhan bahkan membuat kita makin kehilangan
semangat hidup dan terperosok lebih dalam kejurang keputusasaan. Sebaliknya,
dengan tetap mengucap syukur kita kemudian ditolong untuk menemukan kembali
kegairahan hidup, mendapatkan semacam kekuatan untuk menghadapi kenyataan
sepahit apapun. Bersyukur membuat mata pikiran [eye of mind] dan mata batin
[eye of spirit] kita terbuka lebih lebar, sehingga dapat melihat berbagai
kemurahan tuhan yang nyata-nyata telah [bukan] akan Ia berikan dalam hidup
kita. Atas kemurahan Tuhanlah kita masih hidup, masih bisa bernafas, masih bisa
makan dan minum, masih memiliki pakaian, tempat tinggal, di beri kesehatan, dan
sebagainya. Dengan perkataan lain, bersyukur menolong kita untuk tetap menjaga
perspektif hidup secara keseluruhan, tidak terjebak hanya melihat
sisi gelap kehidupan kita saat menderita.
Bagaimana caranya agar kita
tetap mampu bersyukur dalam segala situasi, terutama ketika situasi kita tidak
menyenangkan? Bagi Ibu saya caranya amatlah sederhana. Ia mempraktikkan syair
lagu berikut:
Bila hidupmu dilanda topan
b’rat
Engkau putus asa hatimu penat
Berkatmu kau hitung satu persatu
K’lak kau tercengang melihat jumlahnya
…
Engkau putus asa hatimu penat
Berkatmu kau hitung satu persatu
K’lak kau tercengang melihat jumlahnya
…
Itulah
caranya. Dan itulah yang saya coba praktikkan selama berpuluh tahun. Bila
kesusahan hidup mendera, saya mengambil selembar kertas dan memaksa pikiran
saya untuk menemukan sejumlah hal yang pantas saya syukuri dalam hidup. Saya
mendaftarkan sejumlah prestasi dan penghargaan yang pernah saya raih;
menambahkan sejumlah hal yang berhasil saya miliki; menuliskan semua tempat
rekreasi dan kota-kota yang pernah saya kunjungi; mencatat satu per satu
anggota tubuh saya yang sehat; buku-buku yang sempat saya baca; nama-nama orang yang pernah menolong saya atau yang pernah
saya tolong; bahkan juga kesusahan-kesusahan yang pernah saya lalui; dan
seterusnya. Dan sejauh ini harus saya akui, saya akhirnya sering tercengang
melihat jumlahnya. Biasanya saya berhenti ketika daftar syukur saya mencapai
angka seratus. Bila saya lanjutkan, maka jumlahnya pasti bisa ditambah sepuluh
atau dua puluh kali lipat, atau bahkan lebih. Lalu saya merenung dan bertanya
pada diri saya sendiri: tidak cukup banyakkah berkat Tuhan yang telah
nyata-nyata saya terima dan saya alami dalam hidup saya? Lalu adilkah saya bila
karena sebuah penderitaan saja, semua berkat Tuhan itu saya anggap tidak
bernilai? Bukankah pada kenyataannya saya telah menerima begitu banyak berkat
yang melampaui apa yang sesungguhnya saya butuhkan untuk hidup?
Lambat laun, setelah latihan
bersyukur dalam segala situasi selama puluhan tahun, saya kemudian menyadari
ada perbedaan antara orang yang bisa bersyukur dengan orang yang mahir bersyukur.
Sama seperti orang yang bisa berenang harus dibedakan dengan mereka yang mahir
berenang, orang yang bisa naik sepeda harus dibedakan dengan pembalap sepeda,
dan seterusnya. Bisa belum tentu mahir, tetapi mahir pasti bisa.
Orang
yang bisa bersyukur adalah mereka yang bersyukur ketika hidupnya berjalan
sesuai keinginannya, tetapi mengeluh ketika kesusahan
datang. Sementara orang yang mahir bersyukur tetap bisa mengucap syukur bahkan
ketika hidup berjalan tidak seperti yang diharapkan. Kesadaran ini membuat saya
menetapkan dalam hati saya akan menempa diri agar menjadi orang yang mahir
bersyukur, bukan sekadar bisa bersyukur. Bahkan lebih dari itu, saya berharap
bisa ”mewariskan” kecakapan mengucap syukur dalam segala situasi ini kepada
anak-anak saya dan kepada setiap orang yang bisa saya sentuh hidupnya dengan
berbagai cara, termasuk dengan cara menuliskan artikel sederhana
ini.
Tentang
kemahiran bersyukur ini saya pernah melakukan sebuah eksperimentasi selama
sepuluh bulan dengan melibatkan 500 peserta program pelatihan dari 20-an
angkatan/kelas yang saya fasilitasi. Dalam salah satu materi pelatihan, saya
meminta semua peserta berlomba mebuat daftar ”25 hal yang saya syukuri dalam
hidup”. Hasilnya menunjukkan bahwa untuk setiap angkatan hanya 1-2 orang saja
yang mampu menyelesaikan daftar syukur tersebut dalam waktu 4 menit atau kurang [rekor tercepat adalah
2,5 menit]. Lebih dari 95% peserta memerlukan waktu yang lebih lama. Karena itu
secara hipotetis saya menganggap bahwa jumlah yang banyak itu termasuk kategori
orang bisa bersyukur, sementara jumlah yang 5 persen itu bisa dikelompokkan
sebagai orang yang mahir bersyukur.
Belajar
mengucap syukur dalam segala situasi, itulah salah satu pelajaran penting yang
saya pelajari di sekolah kehidupan Indonesia. Dan
saya sungguh bersyukur bahwa untuk pelajaran yang sepenting itu, Tuhan memberi
saya seorang guru terbaik yang pernah saya kenal: Ibu saya sendiri.
Penulis : Andrias Harefa
Sumber :
topmotivasi.com