Karier mulus, jabatan tinggi, untuk sebagian
orang bukanlah tujuan akhir. Bahkan, bagi mereka, kembali memulai dari bawah
sama sekali bukan masalah demi mengembangkan usaha sendiri.
Avianto Suwito adalah salah satu dari orang-orang dengan visi dan keberanian berlebih tersebut. Pada 2000, Avian, demikian dia biasa dipanggil, memutuskan untuk berhenti dari pekerjaannya sebagai area manajer supermarket Hero wilayah DKI Jakarta–Jawa Barat, tempatnya mengabdikan diri bekerja selama lebih dari 15 tahun. "Waktu di Hero saya bekerja di bagian processing food development," ujar Avian.
Namun, terbukti bahwa keputusan, keberanian, dan perhitungannya tepat. Kini, Avianto Suwito menjelma menjadi seorang pengusaha sukses di bidang pengolahan makanan.
Berbekal pengetahuan di bidang pengolahan makanan yang diperolehnya selama bekerja, dia merintis usaha di bisnis makanan olahan. Mahir dan memiliki pengetahuan serta pengalaman cukup dalam bidang pembuatan roti dan makanan, Avian memilih untuk membuka usaha pembuatan roti.
Alasan dia memilih bidang usaha itu karena industri pengolahan roti terbilang sederhana dan tidak membutuhkan proses yang mengedepankan kontrol penuh selama 24 jam dalam sehari.
Dengan tekad bulat, tahun 2000 dia realisasikan mimpinya dengan mendirikan Tulip Bakery yang berlokasi di Pamulang, Tangerang Selatan. Dia mengakui, modal yang dibutuhkan untuk memulai usaha di bidang pengolahan makanan ringan itu terbilang besar untuk ukuran industri kecil dan menengah. "Tahun 2001 saya buka usaha ini dengan modal cukup besar, sampai Rp500 juta,” paparnya.
Modal tersebut diperolehnya dari hasil menabung selama bekerja 15 tahun lamanya. Avian mengaku tidak meminjam modal dari bank untuk membuka usahanya.
Menurut Avian, tingginya modal adalah karena peralatan yang dibutuhkan untuk proses produksi pembuatan roti terbilang sangat mahal. Begitu pula dengan bahanbahan yang dibutuhkan untuk proses pengolahan, juga terbilang sangat mahal.
Sebab, bahan-bahan pembuat roti sebagian besar tidak bisa diperoleh di dalam negeri. Menurut Avian, dia maupun pengusaha roti lainnya memesan bahan pembuat roti langsung dari Malaysia, Singapura, dan negara-negara Eropa yang terkenal sebagai penghasil roti kualitas dunia semisal Prancis dan Italia.
"Selain untuk kebutuhan bahan-bahan tadi, modal yang besar juga dibutuhkan untuk sewa tempat, yakni sebesar Rp30 juta," ujarnya.
Dia memahami konsekuensi awal dari upayanya saat merintis usaha tersebut, yakni tidak akan mendatangkan keuntungan yang besar pada saat awal. Avian memaparkan, enam bulan pertama usahanya dijalankan, tidak ada hasil yang maksimal yang diperolehnya.
“Itu saya sadari sejak awal. Tantangan terberat pengusaha baru adalah tidak memperoleh keuntungan pada masa awal merintis usaha,” tuturnya.
Avian mengatakan, enam bulan pertama usahanya berjalan, omzet yang didapatnya hanya sebesar Rp30 juta-Rp40 juta per bulan. Hasil itu hanya cukup untuk membiayai produksi dan menggaji karyawannya.
Namun, tidak menyerah sampai di situ, Avian tetap bersemangat dalam merintis usahanya.Alhasil, secara perlahan tapi pasti, omzet usahanya mulai meningkat. “Pelan-pelan omzet mulai naik. Sekarang sudah di atas Rp100 juta per bulan,” kenangnya.
Menurut Avian, dalam merintis usaha pengolahan makanan, yang dibutuhkan adalah improvisasi dan inovasi tanpa henti. Hal itu, kata dia, harus disadari penuh dan dijalankan tanpa kecuali.
Sebab, tanpa improvisasi dan inovasi baru, usaha yang dirintis akan segera tertinggal pesaing-pesaing di bidang yang sama. “Dengan berinovasi dan kreatif, maka produk yang dihasilkan akan lain dan membuat kita berada di posisi depan dalam persiangan usaha yang sehat,” bebernya.
Beberapa inovasi yang sempat dijalankannya, kata dia, adalah hasil dari pembelajaran dan ilmu yang didapatnya selama bekerja. Sebagian lainnya, diperoleh saat menjalankan usaha dan bersinggungan langsung dengan konsumennya.
Dia mencontohkan, di tahap dasar ia belajar mengenai roti ala Eropa yang cenderung keras. Maka, roti jenis itu pula yang diproduksinya. Namun, dalam perkembangannya, dia mempelajari bahwa karakteristik konsumen Indonesia justru tidak memungkinkan dia untuk mempertahankan jenis roti Eropa.
Lantas, kiblatnya pun beralih ke jenis roti Taiwan yang lebih halus dan lebih digemari masyarakat Indonesia. Bahkan, kata dia, dari pengalamannya dia tahu bahwa untuk kawasan Asia Tenggara, jenis roti Taiwan yang sangat halus adalah yang paling tinggi permintaan pasarnya.
“Sesuai dengan karakteristik itu, inovasi dan ide-ide segar pun dihadirkan dengan mengadopsi jenis roti yang lebih halus. Kita juga harus pandai melihat permintaan masyarakat atau segmennya. Jadi, masyarakat Indonesia bisa menikmati yang di suka,” ungkapnya.
Mengenai kendala, selama 10 tahun merintis usahanya, Avian mengatakan bahwa rintangan terbesar yang dihadapinya untuk mengembangkan usaha adalah persoalan tenaga kerja.
Untuk proses pembuatan roti, papar dia, dibutuhkan tenaga kerja yang terampil dan memiliki keahlian khusus di bidang tata boga. Saat ini, Avian mempekerjakan sebanyak 11 orang karyawan yang diambil melalui paradigma pemberdayaan masyarakat sekitar.
“Kesulitannya, lulusan SMK tata boga jarang ada yang langsung tertarik bekerja ke sini, mereka lebih memilih melanjutkan kuliah. Jadi, kita harus memberdayakan dan mendidik tenaga kerja yang ada,” ujarnya.
Kendati kendala menghadang, Avian tidak surut untuk mengembangkan usahanya. Dia mengaku, jerih payah dan keringat yang dicurahkannya selama 10 tahun dalam merintis usahanya, akan terus dioptimalkan untuk menghadirkan pola pelayanan dan pemasaran yang lebih baik bagi konsumennya.
Menurut dia, kendaraan operasional diyakini mampu menjawab tantangan ke depan sekaligus mewujudkan harapan dan keinginannya. “Saya merencanakan, tahun depan akan membeli tiga sampai lima unit sepeda motor untuk operasional dan pemasaran. Saya yakin itu akan lebih efektif,” tuturnya.
Kini, setelah 10 tahun, Avian mengaku cukup berbangga dengan hasil yang telah dinikmatinya. Kualitas roti bercita rasa tinggi dengan mengedepankan inovasi dan kreasi, membuat usaha yang dirintisnya tetap diminati berbagai kalangan. (wisnoe moerti)(Koran SI/Koran SI/ade)
Avianto Suwito adalah salah satu dari orang-orang dengan visi dan keberanian berlebih tersebut. Pada 2000, Avian, demikian dia biasa dipanggil, memutuskan untuk berhenti dari pekerjaannya sebagai area manajer supermarket Hero wilayah DKI Jakarta–Jawa Barat, tempatnya mengabdikan diri bekerja selama lebih dari 15 tahun. "Waktu di Hero saya bekerja di bagian processing food development," ujar Avian.
Namun, terbukti bahwa keputusan, keberanian, dan perhitungannya tepat. Kini, Avianto Suwito menjelma menjadi seorang pengusaha sukses di bidang pengolahan makanan.
Berbekal pengetahuan di bidang pengolahan makanan yang diperolehnya selama bekerja, dia merintis usaha di bisnis makanan olahan. Mahir dan memiliki pengetahuan serta pengalaman cukup dalam bidang pembuatan roti dan makanan, Avian memilih untuk membuka usaha pembuatan roti.
Alasan dia memilih bidang usaha itu karena industri pengolahan roti terbilang sederhana dan tidak membutuhkan proses yang mengedepankan kontrol penuh selama 24 jam dalam sehari.
Dengan tekad bulat, tahun 2000 dia realisasikan mimpinya dengan mendirikan Tulip Bakery yang berlokasi di Pamulang, Tangerang Selatan. Dia mengakui, modal yang dibutuhkan untuk memulai usaha di bidang pengolahan makanan ringan itu terbilang besar untuk ukuran industri kecil dan menengah. "Tahun 2001 saya buka usaha ini dengan modal cukup besar, sampai Rp500 juta,” paparnya.
Modal tersebut diperolehnya dari hasil menabung selama bekerja 15 tahun lamanya. Avian mengaku tidak meminjam modal dari bank untuk membuka usahanya.
Menurut Avian, tingginya modal adalah karena peralatan yang dibutuhkan untuk proses produksi pembuatan roti terbilang sangat mahal. Begitu pula dengan bahanbahan yang dibutuhkan untuk proses pengolahan, juga terbilang sangat mahal.
Sebab, bahan-bahan pembuat roti sebagian besar tidak bisa diperoleh di dalam negeri. Menurut Avian, dia maupun pengusaha roti lainnya memesan bahan pembuat roti langsung dari Malaysia, Singapura, dan negara-negara Eropa yang terkenal sebagai penghasil roti kualitas dunia semisal Prancis dan Italia.
"Selain untuk kebutuhan bahan-bahan tadi, modal yang besar juga dibutuhkan untuk sewa tempat, yakni sebesar Rp30 juta," ujarnya.
Dia memahami konsekuensi awal dari upayanya saat merintis usaha tersebut, yakni tidak akan mendatangkan keuntungan yang besar pada saat awal. Avian memaparkan, enam bulan pertama usahanya dijalankan, tidak ada hasil yang maksimal yang diperolehnya.
“Itu saya sadari sejak awal. Tantangan terberat pengusaha baru adalah tidak memperoleh keuntungan pada masa awal merintis usaha,” tuturnya.
Avian mengatakan, enam bulan pertama usahanya berjalan, omzet yang didapatnya hanya sebesar Rp30 juta-Rp40 juta per bulan. Hasil itu hanya cukup untuk membiayai produksi dan menggaji karyawannya.
Namun, tidak menyerah sampai di situ, Avian tetap bersemangat dalam merintis usahanya.Alhasil, secara perlahan tapi pasti, omzet usahanya mulai meningkat. “Pelan-pelan omzet mulai naik. Sekarang sudah di atas Rp100 juta per bulan,” kenangnya.
Menurut Avian, dalam merintis usaha pengolahan makanan, yang dibutuhkan adalah improvisasi dan inovasi tanpa henti. Hal itu, kata dia, harus disadari penuh dan dijalankan tanpa kecuali.
Sebab, tanpa improvisasi dan inovasi baru, usaha yang dirintis akan segera tertinggal pesaing-pesaing di bidang yang sama. “Dengan berinovasi dan kreatif, maka produk yang dihasilkan akan lain dan membuat kita berada di posisi depan dalam persiangan usaha yang sehat,” bebernya.
Beberapa inovasi yang sempat dijalankannya, kata dia, adalah hasil dari pembelajaran dan ilmu yang didapatnya selama bekerja. Sebagian lainnya, diperoleh saat menjalankan usaha dan bersinggungan langsung dengan konsumennya.
Dia mencontohkan, di tahap dasar ia belajar mengenai roti ala Eropa yang cenderung keras. Maka, roti jenis itu pula yang diproduksinya. Namun, dalam perkembangannya, dia mempelajari bahwa karakteristik konsumen Indonesia justru tidak memungkinkan dia untuk mempertahankan jenis roti Eropa.
Lantas, kiblatnya pun beralih ke jenis roti Taiwan yang lebih halus dan lebih digemari masyarakat Indonesia. Bahkan, kata dia, dari pengalamannya dia tahu bahwa untuk kawasan Asia Tenggara, jenis roti Taiwan yang sangat halus adalah yang paling tinggi permintaan pasarnya.
“Sesuai dengan karakteristik itu, inovasi dan ide-ide segar pun dihadirkan dengan mengadopsi jenis roti yang lebih halus. Kita juga harus pandai melihat permintaan masyarakat atau segmennya. Jadi, masyarakat Indonesia bisa menikmati yang di suka,” ungkapnya.
Mengenai kendala, selama 10 tahun merintis usahanya, Avian mengatakan bahwa rintangan terbesar yang dihadapinya untuk mengembangkan usaha adalah persoalan tenaga kerja.
Untuk proses pembuatan roti, papar dia, dibutuhkan tenaga kerja yang terampil dan memiliki keahlian khusus di bidang tata boga. Saat ini, Avian mempekerjakan sebanyak 11 orang karyawan yang diambil melalui paradigma pemberdayaan masyarakat sekitar.
“Kesulitannya, lulusan SMK tata boga jarang ada yang langsung tertarik bekerja ke sini, mereka lebih memilih melanjutkan kuliah. Jadi, kita harus memberdayakan dan mendidik tenaga kerja yang ada,” ujarnya.
Kendati kendala menghadang, Avian tidak surut untuk mengembangkan usahanya. Dia mengaku, jerih payah dan keringat yang dicurahkannya selama 10 tahun dalam merintis usahanya, akan terus dioptimalkan untuk menghadirkan pola pelayanan dan pemasaran yang lebih baik bagi konsumennya.
Menurut dia, kendaraan operasional diyakini mampu menjawab tantangan ke depan sekaligus mewujudkan harapan dan keinginannya. “Saya merencanakan, tahun depan akan membeli tiga sampai lima unit sepeda motor untuk operasional dan pemasaran. Saya yakin itu akan lebih efektif,” tuturnya.
Kini, setelah 10 tahun, Avian mengaku cukup berbangga dengan hasil yang telah dinikmatinya. Kualitas roti bercita rasa tinggi dengan mengedepankan inovasi dan kreasi, membuat usaha yang dirintisnya tetap diminati berbagai kalangan. (wisnoe moerti)(Koran SI/Koran SI/ade)
Sumber : okezone.com