Berbagai penelitian menunjukkan bahwa bonggol jagung pipilan
banyak mengandung serat. Sayangnya, masyarakat belum memanfaatkannya dengan
optimal. Padahal limbah pertanian tersebut dapat dimanfaatkan sebagai sumber
serat pangan dalam makanan ringan seperti kerupuk.
Yaqub Alfin dengan inovasinya membuat kerupuk dari bonggol jagung. Ia mengatakan bahwa proses pembuatan kerupuk ini tidak berbeda dengan pembuatan kerupuk biasa. Yaqub mengaku, mereka hanya menambahkan sisa jagung pipilan yang telah diolah ke dalam adonan kerupuk tersebut.
Menurutnya, produk ini mendapat respon yang baik dari para juri dalam kompetisi Program Kreativitas Mahasiswa Kewirausahaan. “Mereka mengatakan agar lebih dikembangkan lagi dan segera dipatenkan agar tidak ada yang mencuri ide ini,” jelasnya. Yaqub beserta dua orang rekannya, Mala Pebriani dan Syukraini Irza merupakan perwakilan Sumatera Utara dan mendapat 50 besar dari 215 tim dari seluruh Indonesia. Kompetisi yang mereka ikuti merupakan salah satu kegiatan dari rangkaian acara Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (PIMNAS) XXII di Universitas Brawijaya, Malang, beberapa waktu lalu.
Dalam perlombaan yang diikutinya, Yaqub mengatakan bahwa juri tidak hanya sekedar menilai kreativitas dari pembuatan produk. Tetapi juga bagaimana membuat produk tersebut mempunyai daya jual. “Kan dilihat dari segi wirausahanya juga,” ujar Yaqub.
Peluang untuk penjualan kerupuk ini sendiri dinilai Yaqub sangat besar karena jarang ada kerupuk yang mengandung serat. “Tentu saja akan dipasarkan. Saat ini USU juga dalam proses untuk mematenkannya,” ujar Yaqub. (*/Suara Media)
Yaqub Alfin dengan inovasinya membuat kerupuk dari bonggol jagung. Ia mengatakan bahwa proses pembuatan kerupuk ini tidak berbeda dengan pembuatan kerupuk biasa. Yaqub mengaku, mereka hanya menambahkan sisa jagung pipilan yang telah diolah ke dalam adonan kerupuk tersebut.
Menurutnya, produk ini mendapat respon yang baik dari para juri dalam kompetisi Program Kreativitas Mahasiswa Kewirausahaan. “Mereka mengatakan agar lebih dikembangkan lagi dan segera dipatenkan agar tidak ada yang mencuri ide ini,” jelasnya. Yaqub beserta dua orang rekannya, Mala Pebriani dan Syukraini Irza merupakan perwakilan Sumatera Utara dan mendapat 50 besar dari 215 tim dari seluruh Indonesia. Kompetisi yang mereka ikuti merupakan salah satu kegiatan dari rangkaian acara Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (PIMNAS) XXII di Universitas Brawijaya, Malang, beberapa waktu lalu.
Dalam perlombaan yang diikutinya, Yaqub mengatakan bahwa juri tidak hanya sekedar menilai kreativitas dari pembuatan produk. Tetapi juga bagaimana membuat produk tersebut mempunyai daya jual. “Kan dilihat dari segi wirausahanya juga,” ujar Yaqub.
Peluang untuk penjualan kerupuk ini sendiri dinilai Yaqub sangat besar karena jarang ada kerupuk yang mengandung serat. “Tentu saja akan dipasarkan. Saat ini USU juga dalam proses untuk mematenkannya,” ujar Yaqub. (*/Suara Media)
Lampu Unik dari Kulit Jagung
Hampir dipastikan, semua orang mengenal jagung. Tumbuhan
jenis padi-padian dengan sejumlah lapisan pembungkus yang disebut kulit jagung.
Bagi sebagian orang, kulit jagung ini mungkin tak bernilai apa-apa. Bahkan
hanya jadi sampah. Di tangan Heri Darmawan, warga asal Klaten, Jawa Tengah,
kulit jagung atau klobot tidak dianggap sampah. Heri "menyulapnya"
menjadi benda seni bernilai tinggi. Dengan bermodal semangat dan peralatan
seadanya, warga Desa Jambu Kulon, Ceper, Klaten ini memulai kreasinya dengan
menyetrika klobot hingga rata. Kemudian klobot digunting sesuai bentuk yang
diinginkan.
Selanjutnya guntingan klobot ditempelkan satu persatu pada lembar fiber menggunakan lem hingga seluruh permukaan fiber tertutup. Proses selanjutnya adalah memasang fiber yang sudah ditempeli klobot jagung pada sebuah rangka bambu. Setelah selesai tinggal memasang dudukan lampu bohlam pada bagian bawah. Dan jadilah sebuah lampu unik dari klobot jagung.
Saat lampu kulit jagung dinyalakan terlihat sangat indah. Bagi yang baru melihatnya mungkin tidak akan menyangka bahkan tak percaya kalau lampu itu terbuat dari bahan yang biasanya dibuang, yaitu kulit jagung.
Harga jual kerajinan ini cukup mencengangkan. Tiap unit lampu klobot dijual antara Rp 150-350 ribu tergantung model dan ukuran. Pemasaran lampu klobot sudah menembus berbagai kota di wilayah Indonesia, seperti Yogyakarta, Jakarta, dan Bali. Bahkan sekarang sudah ada peminat dari Jepang yang mengambil sampel untuk dibawa ke negaranya.
Selanjutnya guntingan klobot ditempelkan satu persatu pada lembar fiber menggunakan lem hingga seluruh permukaan fiber tertutup. Proses selanjutnya adalah memasang fiber yang sudah ditempeli klobot jagung pada sebuah rangka bambu. Setelah selesai tinggal memasang dudukan lampu bohlam pada bagian bawah. Dan jadilah sebuah lampu unik dari klobot jagung.
Saat lampu kulit jagung dinyalakan terlihat sangat indah. Bagi yang baru melihatnya mungkin tidak akan menyangka bahkan tak percaya kalau lampu itu terbuat dari bahan yang biasanya dibuang, yaitu kulit jagung.
Harga jual kerajinan ini cukup mencengangkan. Tiap unit lampu klobot dijual antara Rp 150-350 ribu tergantung model dan ukuran. Pemasaran lampu klobot sudah menembus berbagai kota di wilayah Indonesia, seperti Yogyakarta, Jakarta, dan Bali. Bahkan sekarang sudah ada peminat dari Jepang yang mengambil sampel untuk dibawa ke negaranya.
Bioetanol dari Limbah Salak
Adhita Sri Prabakusuma, mahasiswa Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta, berhasil membuat kompor berbahan bakar bioetanol terbuat dari
limbah buah salak. "Bioetanol sebagai bahan bakar pengganti minyak maupun
elpiji terbuat dari limbah buah salak yang cacat panen atau busuk,"
katanya.
Ia mengatakan selama ini, buah salak tidak layak jual tersebut dibuang petani atau dibiarkan membusuk di pekarangan kebun salaknya. "Di Dusun Ledoknongko, Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman yang merupakan salah satu sentra penghasil salak dihasilkan sekitar 1-3 ton limbah salah dalam satu bulan," katanya.
Menurutnya, dari 10 kilogram limbah buah salak dihasilkan sedikitnya 1 liter bioetanol, setelah sebelumnya, limbah buah salak tersebut difermentasikan dahulu selama satu minggu dengan menambah ragi dan urea. "Cairan fermentasi tersebut dipanaskan dengan suhu 70 derajat Celcius pada tabung destilasi. Hasil pemanasan ini nantinya menghasilkan bioetanol," katanya.
Praba mengakui belum banyak masyarakat Dusun Ledoknongko yang mau mengolah limbah buah salak menjadi bahan bakar. "Tidak mudah menyosialisasikan inovasi tersebut karena tingkat pendidikan masyarakat di Dusun Ledoknongko berbeda-beda," katanya.
Ia berharap inovasinya membantu masyarakat dalam mengatasi limbah salak, mendukung program pertanian terpadu, dan dalam menerapkan energi ramah lingkungan.
Ia mengatakan selama ini, buah salak tidak layak jual tersebut dibuang petani atau dibiarkan membusuk di pekarangan kebun salaknya. "Di Dusun Ledoknongko, Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman yang merupakan salah satu sentra penghasil salak dihasilkan sekitar 1-3 ton limbah salah dalam satu bulan," katanya.
Menurutnya, dari 10 kilogram limbah buah salak dihasilkan sedikitnya 1 liter bioetanol, setelah sebelumnya, limbah buah salak tersebut difermentasikan dahulu selama satu minggu dengan menambah ragi dan urea. "Cairan fermentasi tersebut dipanaskan dengan suhu 70 derajat Celcius pada tabung destilasi. Hasil pemanasan ini nantinya menghasilkan bioetanol," katanya.
Praba mengakui belum banyak masyarakat Dusun Ledoknongko yang mau mengolah limbah buah salak menjadi bahan bakar. "Tidak mudah menyosialisasikan inovasi tersebut karena tingkat pendidikan masyarakat di Dusun Ledoknongko berbeda-beda," katanya.
Ia berharap inovasinya membantu masyarakat dalam mengatasi limbah salak, mendukung program pertanian terpadu, dan dalam menerapkan energi ramah lingkungan.
Sumber : ciputraentreprenuerchip.com